[Berat Badan Lahir, Lama Pemberian ASI Dan ASI Eksklusif Sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting Balita Di Desa Langensari Kabupaten Semarang]

Indonesian Nutrition Student Journal Vol 5 , No 2 , Hal 1-7

Review Jurnal

Berat Badan Lahir, Lama Pemberian ASI Dan ASI Eksklusif Sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting Balita Di Desa Langensari Kabupaten Semarang

Oleh :

Aysha Ayunda Akbar (Universitas Muhammadiyah Semarang)

Agustin Syamsianah  (Universitas Muhammadiyah Semarang) 

Yuliana Noor Setiawati Ulvie (Universitas Muhammadiyah Semarang)

Abstrak

Pendahuluan: stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2SD. Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berat badan lahir, lama pemberian ASI dan ASI eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting balita. 

Metode: penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain case control. Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi sampel dengan kondisi stunting dan tidak stunting, kemudian ditelusuri secara retrospektif untuk mengetahui faktor risiko balita stunting. Subjek penelitian balita usia 12-60 bulan dengan 32 kasus (stunting) dan 32 kontrol (tidak stunting) dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data tinggi badan diperoleh melalui pengukuran menggunakan microtoise/infantometer. Data berat badan diperoleh melalui buku KIA, data lama pemberian ASI dan ASI eksklusif diperoleh melalui wawancara. Data dianalisis menggunakan uji Chi Square.

Hasil: hasil penelitian menunjukan bahwa balita stunting yang memiliki BBLR ditemukan sebanyak 31,2%. Balita stunting dengan lama pemberian ASI < 24 bulan ditemukan sebanyak 68,8%, dan balita stunting dengan ASI non eksklusif ditemukan sebanyak 71,9%. Berat badan lahir tidak berhubungan dengan kejadian stunting balita (p=0,006). Lama pemberian ASI (p=1,000) dan ASI eksklusif (p=0,784) juga tidak berhubungan dengan kejadian stunting balita. 

Kesimpulan: berat badan lahir, lama pemberian ASI dan ASI eksklusif bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting balita di Desa Langensari Kabupaten Semarang.

Hasil Review:

Pendahuluan :

Stunting diartikan sebagai kondisi gagal tumbuh seorang anak yang terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan. Prevalensi stunting di Jawa Tengah tergolong tinggi karena mencapai 33,6%.  Sedangkan data Puskesmas Ungaran 2016 mencatat prevalensi stunting di Ungaran sekitar 6,14% dimana salah satu desa yaitu desa Langensari memiliki balita stunting terbanyak dengan prevalensi 13,64%.

Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih tinggi pada negara-negara berkembang dibanding negara-negara maju. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) memiliki peranan penting dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan merupakan upaya kesehatan primer untuk meningkatkan kelangsungan hidup bayi dan anak. Bayi yang memperoleh ASI segera setelah dilahirkan akan memiliki kekebalan tubuh (imunitas) yang lebih tinggi sehingga lebih tahan terhadap ancaman penyakit.  Persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Kabupaten Semarang sangat rendah dibanding kabupaten lainnya di Jawa Tengah. 

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berat badan lahir, lama pemberian ASI dan ASI eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting balita.

Metode Penelitian :

Penelitian ini adalah penelitian observasional menggunakan rancangan penelitian analitik dengan desain case control. Sampel penelitian adalah balita usia 12-60 bulan. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan mendapatkan besar sampel minimal 32 balita untuk setiap kelompok. Data penelitian dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara pada responden, melihat data berat badan lahir balita dan ASI eksklusif pada buku KMS. Selain itu, dilakukan pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise atau infantometer. Instrumen yang digunakan adalah alat tulis, microtoise, infantometer, kamera, dan timbangan berat badan. Data yang diperoleh diuji menggunakan Chi-Square. Analisis data dilakukan secara deskriptif. 

Pembahasan :

Usia ibu balita yang berusia 20-35 tahun yaitu sebanyak 54 orang (84,4%) dengan persentase ibu balita stunting berusia 20-35 tahun sebanyak 71,9%. Pendidikan terakhir ibu balita sebagian besar SMA/SMK yaitu sebanyak 39 orang (60,9%) dengan persentase ibu balita stunting sebanyak 38,46%. Pekerjaan mayoritas ibu balita di Desa Langensari sebagai buruh pabrik garment sebanyak 34 orang (53,12%). Sedangkan ibu balita stunting dengan pekerjaan guru dan ibu rumah tangga memiliki persentase yang sama yaitu 43,8%. Kasus stunting di Desa Langensari ditemukan lebih banyak terjadi pada laki-laki (56,2%) dibandingkan balita perempuan. Balita stunting yang berusia 12-23 bulan sebanyak 25% dan masih banyak yang mendapatkan ASI.

Balita yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) sebanyak 13 balita (20,31%), sedangkan 51 balita (79,69%) memiliki berat badan lahir normal (BBLN). Balita stunting yang memiliki BBLR ditemukan sebanyak 31,2%, lebih sedikit dibandingkan dengan balita stunting yang memiliki BBLN yaitu sebanyak 68,8%. Balita stunting dengan lama pemberian ASI <24 bulan ditemukan sebanyak 68,8%. Susu formula diberikan dikarenakan payudara sang ibu hanya memproduksi sedikit ASI dan tidak tega bayinya menangis kelaparan. Rasa ketidaktegaan ibu dan anak yang tidak mau disapih menyebabkan balita diberikan ASI sampai 35 bulan. Balita stunting dengan ASI non eksklusif ditemukan sebanyak 71,9%. Berdasarkan analisis balita mengalami kondisi stunting karena hanya mendapatkan ASI tanpa mendapat MP-ASI sampai berusia 24 bulan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan BBLR antara lain status gizi ibu ketika hamil, jarak kehamilan/kelahiran sebelumnya, paritas, pengetahuan yang rendah.  Kondisi stunting akibat pengaruh patologis atau malnutrisi saat ini tidak bisa diketahui karena pada penelitian ini tidak diteliti lebih mendalam faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan lahir. Sebagian besar ibu pada kelompok kasus maupun kontrol menghentikan pemberian ASI ketika bayi menginjak usia 2-3 bulan dengan alasan sehingga lama pemberian ASI tidak berhubungan dengan kejadian stunting. Sala ibu harus kembali bekerjah satu alasan dari beberapa responden tidak memberikan ASI selama 2 tahun dikarenakan ASI tidak dapat keluar. Periode transisi dimana bayi masih diberi makanan cair, ASI ataupun susu formula, tetapi juga secara bertahap diperkenalkan pada makanan padat disebut dengan istilah penyapihan. Istilah “weaning” (menyapih) bukan berarti proses memisahkan bayi dari payudara ibunya tetapi mengenalkan makanan padat bersama pemberian susu (ASI atau susu formula). WHO dan UNICEF merekomendasikan agar bayi diberikan ASI sampai usia dua tahun. 

Meningkatnya kejadian diare akibat tidak higienisnya pemberian makanan tambahan/susu formula, kurangnya kecukupan gizi bagi anak di bawah dua tahun (baduta), timbulnya alergi pada sebagian baduta oleh karena pemberian susu formula atau makanan tambahan yang tidak sesuai dengan kondisi baduta, serta meningkatnya pengeluaran rumah tangga karena pembelian susu formula merupakan efek dari kurangnya atau tidak diberikannya ASI hingga 24 bulan. Sebagian dari ibu balita ketika melahirkan tidak langsung menyusui bayinya melainkan diberi susu formula oleh pihak rumah sakit. Sebagian besar ibu balita mulai menyusui pertama kali setelah bayi selesai dibersihkan pasca kelahiran (Inisiasi Menyusui Dini (IMD)), rentan waktu kurang dari 1 jam. Ada pula bayi yang baru diberi ASI 2-3 hari kemudian karena bayi perlu dirawat di dalam inkubator sehingga pihak rumah sakit memberi susu formula. Ketidaktahuan ibu balita mengenai kolostrum menyebabkan kolostrum terbuang. Pada usia 2-3 bulan sebagian besar ibu mulai memberikan ASI  kombinasi dengan susu formula, dan ada pula yang menghentikan pemberian ASI dengan alasan ibu harus kembali bekerja dan diberikan susu formula saja sampai berusia 6 bulan. Pemberian susu formula di awal kelahiran menyebabkan kegagalan ASI eksklusif bagi bayi. Keberhasilan dan kegagalan ASI eksklusif selain ditentukan oleh ibu juga ditentukan oleh dukungan keluarga seperti suami dan orang tua, juga tenaga kesehatan. 

Kesimpulan:

Balita stunting dengan ASI non eksklusif ditemukan sebanyak 71,9%. Berdasarkan analisis balita mengalami kondisi stunting karena hanya mendapatkan ASI tanpa mendapat MP-ASI sampai berusia 24 bulan. Berat badan lahir, lama pemberian ASI, dan ASI eksklusif bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting di Desa Langensari Kabupaten Semarang. Ada beberapa faktor bayi tidak mendapatkan ASI sampai usia dua tahun sesuai dengan rekomendasi WHO dan UNICEF antara lain tidak keluarnya ASI, harus kembalinya bekerja sang ibu. Ibu dan dukungan orang-orang sekitar seperti keluarga dan tenaga kesehatan menentukan keberhasilan dan kegagalan ASI eksklusif bagi bayi. 

Sumber:

Akbar, A. Ayunda., Syamsianah, A., dan  Ulvie, Y. N. Setiawati. (2018). Berat Badan Lahir, Lama Pemberian ASI dan ASI Eksklusif Sebagai Faktor Resiko Kejadian Stunting Balita di Desa Langensari Kabupaten Semarang. Indonesian Nutrition Student Journal, 5(2), 1-7.

Advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *