KETAHANAN PANGAN KELUARGA BALITA PASCA LETUSAN GUNUNG BROMO, KABUPATEN PROBOLINGGO, INDONESIA

Oleh Debby Chintya Purnama, Universitas Brawijaya

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada pada jalur Cincin Api Pasifik, dimana 21% dari seluruh gunung berapi aktif yang ada di bumi berada di Indonesia. Indonesia juga terletak di antara lempeng yang selalu bergerak yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Pertemuan lempeng ini memiliki karakteristik tektonik yang aktif sehingga berimbas pada seringnya kejadian gempa bumi dan gunung meletus. Letusan gunung berapi banyak menimbulkan kerusakan, salah satunya adalah pada rusaknya tanaman dan hewan. Hal tersebut dapat menimbulkan terjadinya penurunan ketersediaan pangan, akses bahan pangan, dan konsumsi makanan sehingga dapat mengganggu ketahanan pangan. Meletusnya Gunung Bromo pada 26 November 2010 terus mengeluarkan abu vulkanik hingga Februari 2011. Desa Ngadirejo Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo yang berjarak 5 km dari kawah Gunung Bromo mendapat imbas paling parah dari abu vulkanik yang dikeluarkan. Hal tersebut sangat memengaruhi ketahanan pangan masyarakat Desa Ngadirejo karena mayoritas berprofesi sebagai petani dan peternak. Kelompok balita merupakan kelompok yang rawan mengalami masalah gizi ketika terjadi kerawanan pangan, maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan pangan pada keluarga balita setelah meletusnya Gunung Bromo selama 2 tahun yaitu tahun 2010-2012.

Metode penelitian

Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan metode cross sectional, dengan subjeknya adalah seluruh keluarga di wilayah penelitian dengan salah satu kriterianya yaitu keluarga yang memiliki balita.Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling, sehingga seluruh keluarga yang berjumlah 56 keluarga di wilayah penelitian yang sesuai dengan kriteria diikutsertakan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur untuk menggali data seputar keadaan keluarga, kemudian wawancara mendalam dan observasi digunakan untuk mengetahui kondisi gambaran umum tentang wilayah penelitian. Selanjutnya untuk analisis data terdapat analisis indikator ketahanan pangan yang berisi pertanyaan tentang pengalaman kerawanan pangan selama satu tahun terakhir. Kemudian untuk data sosioekonomi dan ketahanan pangan keluarga dianalisa secara deskriptif, lalu hubungan antara variabel ketahanan pangan dan faktor-faktor yang memengaruhinyadianalisa dengan uji korelasi Spearman. Seluruh analisa statistik dilakukan dengan menggunakan softrware SPSS versi16.

Hasil

Penelitian ini dilakukan pada 56 keluarga di Desa Ngadirejo, hasil menunjukkan bahwa lebih dari separuh subjek memiliki penghasilan sebanyak Rp500.000-1.000.000 tiap bulan. Kemudian sebanyak 94,6% yang bekerja di ladang dan 69,7% beternak. Sebagian besar keperluan makan keluarga (lauk hewani, kacang-kacangan, lemak/minyak, dan buah) diperoleh dengan membeli, sedangkan untuk sayur-sayuran untuk 2/3 keluarga adalah dari hasil sendiri.
Lebih dari separuh subjek penelitian menganggap bahwa harga beras pada saat penelitian adalah tinggi namun masih terjangkau, sedangkan 4% menganggap bahwa harga beras tinggi dan tidak terjangkau. 1 dari 5 keluarga mengganti beras dengan jagung selama 1 tahun terakhir. Diketahui juga bahwa dalam 12 bulan terakhir separuh dari subjek mengalami kehabisan makanan sehingga tidak dapat membeli makanan dengan proporsi yang lengkap ( nasi, sayur, lauk hewani dan nabati, dan buah), sedangkan sisanya adalah mengurangi porsi dari masing2 jenis makanan, mengurangi frekuensi makan, bahkan tidak makan.Dari analisa ketahanan pangan, lebih dari separuh subjek berada dalam keadaan tidak tahan pangan, yang sebagian besar termasuk ke dalam ketahanan pangan rendah dan sisanya termasuk ke dalam ketahanan pangan sangat rendah.Uji hubungan antar variabelyang diteliti menunjukkan bahwa skor total kerawanan pangan berhubungan dengan total pendapatan, lama kekurangan mamanan dan variasi ternak yang dipelihara. Kemudian lama kekurangan makanan juga berhubungan dengan total pendapatan dan variasi tanaman yang ditanam.

Pembahasan

Ketahanan pangan memiliki 4 pilar yaitu ketersediaan bahan makanan, akses untuk memeroleh bahan makanan, konsumsi bahan makanan, dan stabilitas. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi bahan makanan dan pendapatan. Adanya abu vulkanik dari letusan Gunung Bromo membuat tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik dan mati sehingga ketersediaan bahan pangan menurun. Hewan ternak peliharaan warga juga terpengaruh dengan adanya gas beracun dan abu vulkanik, membuat hewan ternak banyak yang mati sehingga pendapatan warga juga menurun yang kemudian membuat daya beli masyarakat menurun dan ketersediaan bahan makanan berkurang.

Pilar kedua ketahanan pangan adalah akses bahan makanan. Akses untuk memeroleh bahan makanan setelah adanya letusan Gunung Bromo menjadi terhambat karena infrastruktur yang rusak untuk menuju pasar terdekat di Kecamatan Sukapura yang jaraknya 10 km, hal ini membuat ketahanan pangan menjadi rendah. Hal lain yang memengaruhi akses bahan makanan adalah pendapatan.
Pilar ketiga ketahanan pangan yaitu konsumsi bahan makanan. Konsumsi bahan makananbanyak berubah setelah letusan Gunung Bromo. Banyak warga yang mengganti makanan utama nasi dengan jagung, ubi, dan singkong. Kemudian ada juga yang mengurangi porsi makan dan jika dilihat berdasarkan indikator frekuensi makanan, terdapat beberapa keluarga yang tidak makan sama sekali karena kehabisan makanan dan uang untuk membeli makanan.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga balita masih mengalami kerawanan pangan. Penelitian yang dilakukan Osei dkk(2010) mengenai ketidakamanan pangan rumah tangga dan status gizi anak usia 6 hingga 23 bulan di Distrik Kailali Nepal didapatkan hasil bahwa balita pada keluarga yang tidak tahan pangan cenderung rendah variasi, frekuensi, dan jumlah makannya. Adanya variasi tanaman pertanian dan hewan ternak sangat diperlukan, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Musotsi (2008) mengenai peran home gardening terhadap ketahanan pangan rumah tangga di Daerah Butere didapatkan hasil bahwa semakin bervariasi hasil pertanian, maka semakin banyak makanan yang dapat dikonsumsi, disimpan, dan dijual untuk mendapatkan penghasilan. Untuk daerah penelitian yang rawan akan abu vulkanik, perlu ada starategi baru untuk menanggulangi kondisi tanah yang kurang subur. Salah satunya yaitu dengan soil management, mengembalikan kesuburan tanah dengan memberikan berbagai macam mikroba pengendali untuk mempercepat keseimbangan dan membangun bahan organik tanah. Perlu juga dari pemerintah untuk memberikan subsidi teknologi kepada petani, dan juga perbaikan infrastruktur untuk memudahkan akses pangan masyarakat.Dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan, sebagian masyarakat telah beralih pada budidaya jamur. Hal ini sangat bagus karena jamur merupakan tanaman yang tahan terhadap perubahan cuaca (karena ditanam dalam ruangan) dan dapat tumbuh baik di daerah dingin, selain itu jamur juga dapat dipanen dalam waktu satu bulan. Namun perlu adanya pelatihan khusus bagi petani dikarenakan budidaya jamur merupakan hal yang baru di daerah penelitian.

Kesimpulan

Dua tahun pasca letusan Gunung Bromo di daerah penelitian masih berada dalam kondisi rawan pangan. Diversifikasi tanaman diperlukan sebagai solusi yang dapat dilakukan, diperlukan alternatif tanaman yang cenderung lebih tahan terhadap perubahan cuaca dan dapat dipanen dalam waktu yang singkat untuk mengoptimalkan kembali kondisi rawan pangan di Desa Ngadirejo.

Daftar pustaka

Rahmawati W, dkk. 2014. Ketahanan Pangan Keluarga Balita Pasca Letusan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Indonesia. Indonesian Journal of Human Nutrition. (1)1: 35 – 49.

Advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *