Wiko Saputra dan Rahmah Hida Nurrizka
Oleh : Najrannisa, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka
PENDAHULUAN
Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan persoalan yang dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. Sehingga persoalan ini menjadi salah satu poin penting yang menjadi kesepakatan global dalam Milleneum Development Goals (MDGs). Setiap negara secara bertahap harus mampu mengurangi jumlah balita yang bergizi buruk atau kurang gizi sehingga mencapai 15 % pada tahun 2015. Di Indonesia persoalan gizi ini juga merupakan salah satu persoalan utama dalam pembangunan manusia. Sebagai salah satu negara dengan kompleksitas kependudukan yang sangat beraneka ragam, Indonesia berhasil menurunkan prevalensi balita kurang gizi dari 31 % pada tahun 1989 menjadi 18,4 % pada tahun 2007. Ini menunjukan bahwa proses pencapaian target MDGs secara bertahap dapat dilakukan oleh Indonesia. Namun, terdapat kesenjangan antar daerah perkotaan dan pedesaan. Di perkotaan angka balita kurang gizi mencapai 15,9 % lebih rendah dibanding di daerah pedesaan yang mencapai 20,4 % dan terdapat juga disparitas antar kelompok sosial ekonomi. Ini menjadi fokus utama dalam persoalan gizi buruk di Indonesia. Dimana pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan orang tua mempengaruhi perbandingan prevalensi gizi buruk.
METODE
Kajian ini mengunakan data mikro melalui studi lapangan yang dilaksanakan pada tahun 2010 pada tiga komunitas di Sumatera Barat. Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 572 yang akan merefleksikan situasi rumah tangga di Sumatera Barat, yang bercirikan masyarakat nelayan, masyarakat pertanian dan perkebunan, dan masyarakat perkotaan. Ketiga jenis masyarakat ini kemudian akan dipilih daerah yang representatif pada setiap kabupaten/kota. Jumlah sample dilakukan dengan menentukan sampling terpilih, yakni desa yang terpilih secara acak. Kemudian penarikan sample dilakukan secara sistematik random sampling dari interval sample yang ditentukan sesuai dengan jumlah rumah tangga yang ada.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari hasil studi menunjukan secara umum, masih besar jumlah penderita gizi buruk di daerah kajian. 17,6 % balita memiliki resiko gizi buruk dan 14,0 % menderita kekurangan gizi. Hal Ini sangat disayangkan karena daerah ini merupakan daerah dengan tingkat produksi pertanian yang tinggi. Begitu juga dengan perikanan merupakan sentra perikanan untuk kawasan Sumatera. Yang berarti pengaruh produksi pangan tidak memberikan jaminan terhadap resiko penderita gizi buruk dan kurang di Sumatera Barat. Bila dilihat menurut komunitas, komunitas nelayan memiliki proporsi tingkat penderita gizi buruk dan kekurangan gizi yang relatif tinggi dibanding dua komunitas lain seperti komunitas perkotaan dan komunitas pertanian.
Faktor Pendidikan juga mempengaruhi pengetahuan terhadap gizi dan kesehatan. Bila pengetahuan rendah maka pola asuh orang tua terhadap anak menjadi kurang baik. Selanjutnya implikasinya akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Sekitar 21,6 % balita yang berasal dari kelompok masyarakat miskin menderita gizi buruk dan sekitar 10,2 % menderita kekurangan gizi, yang berarti temuan tersebut terdapat implikasi bahwa tingkat kemiskinan yang tinggi dan pendidikan yang rendah merupakan resiko terbesar dalam persoalan gizi buruk di Sumatera Barat. Hal ini juga dipengaruhi oleh Usia Kepala Rumah Tangga, data menunjukan bahwa resiko gizi buruk pada balita paling tinggi terjadi pada kepala rumah tangga dengan usia muda yaitu usia 24 tahun kebawah dengan probability sekitar 1,298 kali lebih besar dibanding usia lain. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD) memiliki resiko yang besar terhadap kualitas gizi anak, dimana probability resiko gizi buruk 5,699 kali lebih besar dibandingkan dengan orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Namun, uniknya ada faktor Jumlah Anggota Rumah Tangga (JART). Hasil temuan menunjukan hal yang unik bahwa semakin besar anggota rumah tangga semakin rendah resiko anak balita menderita gizi buruk. Hal ini terjadi akibat besarnya tingkat produktivitas dari rumah tangga dengan jumlah anggota yang banyak. Ada indikasi anak dilibatkan dalam membantu ekonomi rumah tangga sehingga total pendapatan rumah tangga menjadi meningkat.
Faktor migran juga mempengaruhi gizi buruk di daerah ini, hasil temuan menunjukan penduduk pendatang (migran) memiliki resiko penderita gizi buruk pada balita dibandingkan dengan penduduk asli. Hal ini dapat dilihat dari nilai probability sebesar 1,190. Artinya terjadi ketimpangan ekonomi di Sumatera Barat, dimana akses ekonomi lebih dikuasai oleh masyarakat asli. Sedangkan pendatang cenderung miskin. Dan ketika kemiskinan terjadi maka akan berlanjut dengan penderita gizi buruk pada balita.
Data dari study lapangan mampu menjawab analisis karakteristik dan resiko penderita gizi buruk karena jumlah sample yang relatif besar dengan modul gizi yang dikembangkan dari rekomendasi World Health Organizatiton (WHO). Dimana alat ukur WHO sesuai dengan tabel gizi yaitu berat badan dan umur balita.
KESIMPULAN
Pangan merupakan salah satu bagian yang sangat penting dan menjadi penyebab munculnya persoalan gizi. Kekurangan gizi dipengaruhi oleh kurangnya asupan terhadap pangan baik segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Tetapi tidak mutlak menyebabkan terjadinya kasus gizi buruk dan kekurangan gizi. Hasil dari studi mikro terhadap penilaian status gizi balita melihatkan implikasi tersebut. Faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor utama dalam resiko balita menderita gizi buruk dan kekurangan gizi. Polemiknya justru bertambah rumit ketika intervensi pemerintah terhadap kemiskinan masih lemah sehingga kemiskinan terutama yang terjadi pada komunitas nelayan, perkotaan dan pertanian tradisional belum mampu memberikan perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat berimplikasi besar terhadap munculnya kasus gizi buruk dan kekurangan gizi pada balita.
Perlu strategi khusus dalam menangani persoalan gizi ini. Yaitu dapat melakukan pendekatan kesejahteraan rumah tangga menjadi poin penting untuk mengatasi kekurangan gizi pada balita, meningkatkan pelayanan kesehatan pada level posyandu, perlu sosialisasi mengenai pengetahuan gizi kepada semua keluarga, program-program bantuan untuk masyarakat miskin perlu diintensifkan terutama melakukan diversifikasi bantuan bukan saja terhadap karbohidrat tapi juga mencangkup protein dan vitamin.
DAFTAR PUSTAKA
Wiko Saputra dan Rahmah Hida Nurrizka. 2013. Faktor demografi dan risiko gizi buruk dan gizi kurang. Makara Kesehatan, Vol. 16, NO. 2: 95-101