oleh: Hana Adisti, Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Terdapat berbagai penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara menyusui (breastfeeding) dengan berbagai manfaat kesehatan bagi anak, diantaranya menurunkan risiko infeksi saluran telinga akut, infeksi saluran pernafasan, asma, obesitas, diabetes mellitus, dan leukemia. Lebih jauh lagi, menjjyusui juga dikaitkan dengan perkembangan kognitif anak yang lebih baik. Dalam Prot Pirie Cohort Study, dinyatakan bahwa anak yang mendapatkan ASI memiliki nilai IQ 1.2 (-2.0 sampai 4.4) poin lebih tinggi pada usia 7 tahun dan 0.8 (-1.9 sampai 3.5) poin lebih tinggi pada usia 11 sampai 13 tahun. Menyusui juga dikaitkan dengan menurunkan risiko attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan permasalahan perilaku lainnya, baik eksternalisasi maupun internalisasi. Namun, karena perilaku ini sangat terkair dengan IQ anak ,yang sangat berhubungan dengan asupan ASI, masih belum jelas apakah hubungan antara menyusui dengan perkembangan perilaku anak dimediasi atau dirancukan oleh IQ anak.
Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan dua hipotesis, yaitu (1) status menyusui berhubungan dengan permasalahan perilaku dan ADHD, bahkan setelah disesuaikan dengan IQ ibu dan IQ anak; (2) status menyusui berhubungan dengan IQ anak, bahkan setelah disesuaikan DENGAN diagnosis ADHD dan IQ ibu.
METODE
Penelitian ini dilakukan di Korea Selatan, dimana responden diambil dari lima wilayah administratif Korea: Seoul, Seongnam, Incheon, Ulsan, dan Yeoncheon; dimana diambil dua sampai tiga sekolah dari masing-masing wilayah yang paling merepresentasikan demografi wilayah tersebut dengan total 13 sekolah. Subjek yang diambil adalah anak-anak yang duduk di kelas tiga dan kelas 4 SD (usia 8 – 11 tahun). Ibu dari anak-anak tersebut ditanyakan mengenai metode menyusui (breastfed, bottle-fed, atau campuran) pada saat anak-anaknya masih bayi, kemudian anak-anak tersebut dikelompokkan berdasarkan metode menyusuinya.
Status ADHD pada anak dinilai menggunakan wawancara diagnosis yang sangat terstruktur, yaitu The Diagnostic Interview Schedule for Children Version IV (DISC-IV) ADHD diagnoscic module. Penelitian ini juga menggunakan Child Behavior checklist (CBCL) versi Korea untuk mengevaluasi berbagaimacam gejala perilaku pada anak-anak. CBLC merupakan kuesioner yang diisi oleh orang tua dimana anak-anak dinilai berdasarkan berbagai permasalahan perilaku dan emosional, dimana hasilnya terdapat tiga nilai (nilai permasalahan perilaku internalisasi, eksternalisasi, dan keseluruhan) yang dapat dibandingkan dengan batasan nilai klinis untuk kelompok berdasarkan usia dan jenis kelamin. Dalam penelitian ini, T-score 63 atau lebih mengindikasikan terdapat gejala klinis yang signifikan.
Masing-masing anak diminta untuk mengerjakan bentuk ringkas dari Wechster Intelligence Scales for Children yang dikelarkan oleh Korean Educational Development Institute (KEDI-WISC), sedangkan masing-masing ibu diminta untuk menyelesaikan bentuk ringkas dari Korean Wechsler Adult Intelligence Scale (K-WAIS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari 1,089 anak, sebanyak 215 subjek dieksklusi karena tidak menyelesaikan kuesioner, sehingga didapatkan 874 subjek, dimana 509 berjenis kelamin laki-laki dan 365 perempuan; 522 anak mendapatkan ASI, 352 tidak mendapatkan ASI selama masa bayi. Tidak terdapat perbedaan karakteristik sosio-demografi yang signifikan antara kelompok yang mendapatkan ASI dan tidak mendapatkan ASI. Namun, baik IQ ibu dan anak dalam kelompok yang mendapatkan ASI lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan ASI.
Tabel 1. Karakteristik Sosio-demografik anak-anak yang mendapatkan ASI(breastfed) dan anak-anak yang tidak.
Tabel 1 menunjukan estimasi prevalens ADHD dan morbiditas permasalahan perilaku internalisasi, eksternalisasi, atau secara keseluruhan menurut IQ anak. Seluruh permasalahan perilaku paling umum terjadi pada anak-anak dengan IQ<100, dan paling jarang terjadi pada anak-anak dengan IQ>115, walaupun hanya prevalensi permasalahan perilaku internalisasi yang terdapat perbedaan secara signifikan antara kelompok IQ.
Setelah dilakukan penyeuaian menurut jenis kelamin, usia, wilayah tempat tinggal, serta pendapatan keluarga, kurangnya pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan risiko morbiditas permasalahan perilaku unternalisasi, eksternalisasi, dan secara keseluruhan, serta diagnosis ADHD. Setelah dilakukan penyesuaian dengan IQ anak, hubungan antara kurangnya pemberian ASI dan morbiditas permasalahan perilaku internalisasi dan keseluruhan melemah, tetapi tetap signifikan. Hubungan yang signifikan antara kurangnya pemberian ASI dan morbiditas permasalahan eksternalisasi atau ADHD tereliminasi pada perhitungan ini. Tren ini tetap terlihat bahkan setelah penyesuaian dengan IQ ibu.
Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa kurangnya pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan risiko morbiditas ADHD dan permasalahan perilaku internalisasi dan eksternalisasi, serta tingkat kecerdasan yang lebih rendah di masa anak-anak. Efek perlindungan dari pemberian ASI terhadap permasalahan perilaku ini mungkin secara parsial dimediasi oleh IQ anak, dimana dampak positif dari pemberian ASI pada tingkat kecerdasan kemungkinan secara parsial dimediasi oleh permasalahan berkonsentrasi pada anak.
Penelitian yang pernah dilakukan mengenai dampak pemberian ASI pada permasalahan perilaku cenderung fokus pada masa bayi dan kanak-kanak. Perilaku positif yang muncul pada anak-anak yang mendapatkan ASI meliputi regulasi dan keterikatan emosi yang lebih baik; refleks abnormal, tanda-tanda depresi dan penyangkalan yang lebih sedikit; dan kewaspadaan yang lebih tinggi dalam interaksi sosial. Sebaliknya, hasil penelitian dengan metode cluster-randomized trial tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara perilaku anak pada usia 6 tahun, dimana pada waktu bayi anak-anak tersebut mendapatkan ASI eksklusif untuk periode yang lebih lama dibandingkan anak-anak yang tidak mendapatkannya. Pada penelirian kohort 14 tahun, pemberian ASI dalam periode waktu yang lebih singkat berhubungan dengan peningkatan morbiditas permasalahan perilaku eksternalisasi, internalisasi, dan keseluruhan melalui CBCL. Penelitian ini dapat mengontrol beberapa variabel perancu termasuk faktor keluarga, sosial, ekonomi, kelahiran, dan psikologi di masa bayi, tetapi penelitian ini tidak menguji efek perancu dari IQ ibu maupun IQ anak. Konsisten dengan penelitian-penelitian sebelumnya, poenelitian ini mendapatkan hubungan yang signifikan atara kurangnya pemberian ASI dan peningkatan morbiditas permasalahan eksternalisasi, internalisasi, dan keseluruhan. IQ ibu dan anak dapat menjelaskan sebagian dari efek pemberian ASI, walaupun tidak menyeluruh. Secara khusus, kurangnya pemberian ASI memiliki dampak yang terukur pada permasalahan perilaku internalisasi atau permasalahan perilaku secara keseluruhan, secara independen dari IQ anak.
ADHD merupakan permasalahan perulaku eksternalisasi yang umum terjadi, terjadi pada 8% – 12% anak-anak usia sekolah. ADHD dikarakteristikan dengan gejala sulit berkonsentrasi dan/atau hiperaktivitas. Dengan perkiraan heritabilitas 75%, ADHD secara umum dinilai memiliki basis genetik. Namun, variasi fenotipe sisanya (25%) pada ADHD dipengaruhi pada faktor lingkungan dan beberapa faktor risiko yang dapat diubah seperti perulaku merokok dan pajanan alkohol selama kehamilan. Sebelumnya, terdapat dua penelitian yang menili asosiasi antara menyusui dengan ADHD. Pada salah satu penelitian, peneliti melaporkan bahwa rata-rata durasi menyusui pada anak dengan ADHD lebih pendek dibandingkan kelompok kontrol. Pada penelitian lainnya, peneliti menemukan hubungan yang signifikan antara ADHD dan kurangnya pemberian ASI pada usia 3 bulan. Namun, kedua penelitian idak memperirakan dampak rancu dari IQ ibu maupun IQ anak.
Terdapat beberapa kemungkinan hubungan interaktif yang dapat mengubungkan antara menyusui dengan keberadaan ADHD dan IQ anak. Kemungkinan pertama adalah, kurangnya menyusui menurunkan tingkat kecerdasan anak, dan IQ anak yang rendah meningkatkan kecenderungan ADHD. Kemungkinan lainnya adalah, kurangnya menyusui meningkatkan kecenderungan ADHD, dan permasalahan atensi pada anak menurunkan IQ anak. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kurangnya menyusui dan ADHD, tetapi hubungan ini tidak signifikan secara statistik setelah dilekukan kontrol pada IQ anak. Penelitian ini juga menemukan hubungan yang signifikan antara kurangnya menyusui dengan rendahnya tingkat kecerdasan, sejalan dengan penelitian sebelumnya.
KESIMPULAN
Penelitian ini menemukan bahwa kemungkinan terdapat efek perlindungan dari menyusui terhadap perilaku anak dengan mediasi parsial oleh IQ anak, serta terdapat dampak positif dari menyusui pada tingkat kecerdasan di masa anak-anak dengan mediasi parsial oleh permasalahan konsentrasi anak.
SUMBER:
Park, Subin., et al. ‘Protective effect of breastfeeding with regard to children’s behavioral and cognitive problems’ Nutrition Journal 2014, 13:111 – 116