GAMBARAN POTENSI INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN PADA PASIEN HEPAR YANG DIRAWAT DI SEBUAH RUMAH SAKIT DI KOTA TASIKMALAYA
Ayu Fauziyyah Adhimah, STIKES Surabaya
Pendahuluan
Penggunaan obat dalam terapi suatu penyakit mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, di satu sisi obat mempunyai efek terapi yang dapat mengobati pasien, namun di sisi lain obat mempunyai efek yang tidak diharapkan atau disebut juga dengan adverse drug reaction atau ADR, dan salah satu poin dari ADR ini adalah interaksi obat (Krahenbuhl, 2008). Menurut Baxter (2008) interaksi obat adalah suatu kejadian dimana efek terapi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh obat lain, sediaan herbal, makan, minuman, atau perubahan kimia fisika dari lingkungan. Pengaruh interaksi obat ini berpotensi dapat meningkatkan efek dari obat yang dipengaruhi atau sebaliknya dapat menurunkan efek dari obat yang dipengaruhi.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2014) menunjukan bahwa dari 340 pasien yang diteliti, sebanyak 71 pasien mengalami potensi interaksi obat.penelitian lain yang dilakukan oleh Chan (2001) menunjukan bahwa 30,4% pasien geriatric masuk rumah sakit karena permasalahan yang terkait dengan obat, termasuk interaksi obat.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik yang dilakukan dengan pengamatan secara prospektif dan pengambilan data dilakukan secara kohort. Sampel pasien diambil dengan metode consecutive sampling, yaitu seluruh subyek pasien yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dimasukan dalam penelitian. Pasien dengan risk faktor positif adalah semua pasien dengan gangguan fungsi hepar. Sebagai kontrol (risk faktor negatif) dipilih pasien tanpa kelainan hepar yang sesuai umur dan jenis kelamin dan diagnosis utama dari pasien kelompok berisiko.Kriteria gangguan hepar ditegakkan secara klinis dan laboratorik.
Hasil
Penelitian ini bertujuan untuk mencari gambaran potensi interaksi obat dengan makanan pada pasien gangguan hepar yang dirawat di salah satu rumah sakit yang ada di kota Tasikmalaya. Pada penelitian ini, didapatkan jumlah pasien sebanyak 40 orang dengan jumlah pasien gangguan hepar sebanyak 18 orang dan pasien kontrol sebanyak 22 orang. Dari keseluruhan obat yang diterima pasien, terdapat 7 obat yang mempunyai potensi untuk berinteraksi dengan makanan yaitu furosemide, spironolakton, omeprazole, lansoprazole, parasetamol, ondansetron, dan aspirin.
Dari data pada tabel 1 dapat dilihat bahwa furosemide dan spironolakton merupakan obat yang paling tinggi berpotensi interaksi dengan makanan pada pasien dengan gangguan hepar, potensi ini terjadi pada 15 orang pasien dan 14 orang pasien dengan gangguan hepar, sedangkan pada pasien kontrol, parasetamol dan ondansetron merupakan obat yang mempunyai potensi paling tinggi untuk berinteraksi dengan makanan. Potensi interaksinya terdapat pada masing-masing 8 pasien.
Furosemide dan spironolakton merupakan obat diuretika yang luas digunakan pada berbagai kondisi klinis pasien.Pada pasien dengan gangguan hepar, obat ini digunakan secara luas pada pasien sirosis hepatik, terutama pada pasien yang mengalami udema (Dodds,2010). Lansoprazole dan omeprazole digunakan pada pasien dengan hiperasiditas, obat ini berperan dalam menghambat pompa proton yang bertanggungjawab terhadap meningkatnya asam lambung.Sedangkan parasetamol digunakan pada pasien demam dan digunakan pula sebagai analgetika. Ondansetron digunakan pada gangguan mual muntah (Hui, 2005). Mekanisme terjadinya interaksi disajikan sebagai berikut:
Pembahasan
Adanya makanan dapat menurunkan ketersediaan dari furosemide. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan, adanya makanan menurunkan ketersediaan hayati furosemide sampai 30% dan kadar puncak plasma sampai 55%. Namun hal ini tidak ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi furosemide dengan kondisi berpuasa atau tidak mendapatkan asupan makanan.
Hal yang berbeda didapatkan juga pada furosemide dengan sediaan tablet lepas lambat karena ketersediaan hayati obat ini tidak dipengaruhi oleh adanya makan, sehingga peneliti berasumsi bahwa efek ini bergantung kepada bentuk sediaan obat yang bersangkutan. Efek klinis penurunan efek diuresis tidak ditemukan, dan mekanisme terjadinya efek ini belum sepenuhnya diketahui (Garrido, 2012).
Efek jangka pendek dapat meningkatkan efek diuresis, namun pada jangka panjang tidak terlihat peningkatkan efek diuresis akibat peningkatan ketersediaan hayati ini. Mekanisme kerjan dari efek ini belum sepenuhnya diketahui (Garrido, 2012). Interaksi obat makanan dengan omeprazole terjadi pada bentuk sediaan obat kapsul dan bukan bentuk sediaan lepas lambat. Pada bentuk sediaan kapsul bisa, terjadi perlambatan dalam absorbs dari omeprazole dibandingkan dengan bentuk sediaan lepas lambat. Efek secara klinis tidak ditemukan, mekanisme kemungkinan dipengaruhi oleh bentuk sediaan obat yang bersangkutan (Ismail, 2009).
Pengaruh ada tidaknya makanan terhadap lansoprazole sangat tinggi. Sebuah penelitian menunjukan bahwa dengan adanya makanan dapat menurunkan ketersediaan hayati lansoprazole sampai 70%, sehingga menurunan efek dari lansoprazole itu sendiri. Adanya makanan dapat menghambat absorbsi dari lasoprazole (Ismail, 2009).
Efek makanan terhadap parasetamol terjadi pada dua fase, yaitu pada fase absorbsi dan pada fase metabolisme. Pada fase absorbsi, makanan dapat menurunkan kecepatan absorbsi dari parasetamol sehingga level parasetamol tertinggi lambat tercapai, dan efek mungkin akan lebih lama didapatkan. Mekanisme terjadinya penundaan absorbsi ini karena adanya makanan dapat menurunkan waktu pengosongan lambung, sehingga menunda absorbsi dari parasetamol. Makanan tinggi karbohidrat, tinggi lemak, dan tinggi protein dapat menunda waktu pengosongan lambung (Bushra, 2011). Selain berpengaruh pada fase absorbsi, makanan juga dapat berpengaruh pada fase metabolisme.Beberapa jenis sayuran seperti kecambah dan kubis menginduksi penurunan AUC parasetamol sampai 16%, dan memacu metabolisme parasetamol sampai 17%. Sedangkan seledri menurunkan level plasma dari parasetamol, namun menurunkan metabolit oksidatif dari parasetamol sehingga risiko toksisitas dari parasetamol meningkat (Ismail, 2009).
Adanya makanan dalam saluran cerna dapat meningkatkan ketersediaan hayati dari ondansetron, sehingga kemungkinan efek antiemetic dari ondansetron dapat meningkat. Mekanisme peningkatan ketersediaan hayati dari ondansetron oleh makan belum diketahui secara pasti (Baxter, 2008). Adanya makanan dalam saluran cerna dapat menurunkan absorbsi dari aspirin. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa penurunan absorbsi dari aspirin karena adanya makanan hingga 18%, namun efek secara klinis belum diketahui. Mekanisme terjadinya penghambatan absorbsi ini diketahui karena adanya penundaan waktu pengosongan lambung oleh makanan, yang berefek pada waktu penundaan absorbsi aspirin oleh lambung (Ismail, 2009).
Kesimpulan
Pasien dengan gangguan hepar mempunyai potensi lebih tinggi untuk mengalami interaksi obat-makanan bila dibandingkan dengan pasien kontrol
DAFTAR PUSTAKA
Alifiar, Ilham (2016). Gambaran Potensi Interaksi Obat Dengan Makanan Pada Pasien Hepar Yang Dirawat Di Sebuah Rumah Sakit Di Kota Tasikmalaya. Jurnal Surya Medika Vol.2 No.1 tahun 2016